Senin, 15 September 2014

Pendugaan Masa simpan



Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan menyimpan produk pada kondisi penyimpanan yang sebenarnya. Cara ini menghasilkan hasil yang paling tepat, namun memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar. Kendala yang sering dihadapi oleh industri dalam penentuan umur simpan suatu produk adalah masalah waktu, karena bagi produsen hal ini akan mempengaruhi jadwal launching suatu produk pangan. Oleh karena itu diperlukan metode pendugaan umur simpan cepat, mudah, murah dan mendekati umur simpan yang sebenarnya. Pendugaan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu extended storage studies (ESS), accelerated storage studies (ASS), dan Accelerated Shelf-life Testing (ASLT).
à   Perumusan Berdasarkan ESS (Extended Storage Studies)
ESS sering juga disebut metoda konvensional, adalah penentuan tanggal kadaluwarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya (usable quality) hingga mencapai tingkat mutu kadaluwarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun pada awal-awal penemuan dan penggunaannya, metoda ini dianggap memerlukan waktu panjang dan analisa parameter mutu yang relatif banyak. Dewasa ini metoda ESS sering digunakan untuk produk yang mempunyai waktu kadaluwarsa kurang dari 3 bulan. Metoda ESS dapat juga diterapkan pada produk yang mempunyai waktu kadaluwarsa lebih dari 3 bulan dengan cara digunakan bersamaan dengan metode ASS dengan bantuan Weibull Hazard Analysis, dengan demikian akan dapat menyingkat waktu penentuan waktu kadaluwarsa.
Menurut Gacula dan Kubala (1975) untuk melakukan penelitian umur simpan dalam keadaan yang sebenarnya (tidak terakselerasi = konvensional) harus dibuat rancangan percobaan yang sesuai. Mereka membagi bentuk desain percobaan penentuan kadaluwarsa menjadi 3 jenis percobaan :
a.       Partially Staggered Design
Pada penerapan partially staggered design dapat dilakukan pengolahan data menggunakan regresi sederhana.
b.      Staggered Design
Pengolahan data staggered design dilakukan menggunakan Weibull Hazard Analysis.
c.       Completely Staggered Design
Pengolahan data completely staggered design dilakukan menggunakan Weibull Hazard Analysis.
Ketiga jenis desain tersebut dapat menggunakan data subyektif (hasil penilaian dengan indera) maupun data obyektif (hasil pengukuran fisik, kimia atau mikrobiologis). Hal ini sengaja ditekankan untuk membedakannya dengan metoda akselerasi yang menggunakan data obyektif, khususnya pada metoda semi empiris.
à   Perumusan Berdasarkan ASS (Accelerated Storage Studies )
ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat (accelerated) reaksi deteriorasi (penurunan usable quality) produk pangan. Kerusakan yang berlangsung dapat diamati dengan cermat dan diukur. Hal ini dapat dilakukan dengan mengontrol semua lingkungan produk dan mengamati parameter perubahan yang berlangsung. Keuntungan dari metoda ASS ini membutuhkan waktu pengujian yang relatif singkat (3 sampai 4 bulan), namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi.
Metoda Akselerasi pada dasarnya adalah metoda kinetik yang disesuaikan untuk produk-produk pangan tertentu. Model yang diterapkan pada penelitian ini menggunakan dua cara pendekatan yaitu :
a.       Pendekatan Kadar Air Kritis
Pendekatan Kadar Air Kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktifitas air sebagai kriteria kadaluwarsa. Pada metoda ini kondisi lingkungan penyimpanan memiliki kelembaban relatif (relative humidity) yang ekstrim. Produk pangan kering yang disimpan akan mengalami penurunan mutu akibat penyerapan uap air. Persamaan matematika merupakan alat bantu yang digunakan dan pada dasarnya persamaan ini adalah deskripsi kuantitatif dari sistem yang terdiri dari produk, bahan pengemas, dan lingkungan
b.      Pendekatan Semi Empiris
Pendekatan Semi Empiris dimulai dengan menganggap bahwa perubahan mutu produk pangan akan mengikuti pola reaksi :
A → Produk Intermediat → B
Dalan keadaan ini konsentrasi mutlak A maupun B tidak dianalisa akan tetapi yang diukur adalah perubahan konsentrasi produk intermediat terhadap waktu. Perubahan konsentrasi ini dianggap proporsional terhadap penurunan konsentrasi produk A maupun peningkatan konsentrasi produk B. Penetapan umur simpan dengan pendekatan semi empiris ini menggunakan bantuan persamaan Arrhenius.
à   Metode pendugaan umur simpan dapat dilakukan dengan metode Accelerated Shelf-life Testing (ASLT)
Metode pendugaan umur simpan dapat dilakukan dengan metode Accelerated Shelf-life Testing (ASLT), yaitu dengan cara menyimpan produk pangan pada lingkungan yang menyebabkannya cepat rusak, baik pada kondisi suhu atau kelembaban ruang penyimpanan yang lebih tinggi. Data perubahan mutu selama penyimpanan diubah dalam bentuk model matematika, kemudian umur simpan ditentukan dengan cara ekstrapolasi persamaan pada kondisi penyimpanan normal. Metode akselerasi dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat dengan akurasi yang baik. Metode ASLT yang sering digunakan adalah dengan model Arrhenius dan model kadar air kritis sebagaimana dijelaskan berikut ini.
·         Metode ASLT model Arrhenius
Metode ASLT model Arrhenius banyak digunakan untuk pendugaan umur simpan produk pangan yang mudah rusak oleh akibat reaksi kimia, seperti oksidasi lemak, reaksi Maillard, denaturasi protein, dan sebagainya. Secara umum, laju reaksi kimia akan semakin cepat pada suhu yang lebih tinggi yang berarti penurunan mutu produk semakin cepat terjadi. Produk pangan yang dapat ditentukan umur simpannnya dengan model Arrhenius di antaranya adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk/formula, produk chip/snack, jus buah, mi instan, frozen meat, dan produk pangan lain yang mengandung lemak tinggi (berpotensi terjadinya oksidasi lemak) atau yang mengandung gula pereduksi dan protein (berpotensi terjadinya reaksi kecoklatan).
Karena reaksi kimia pada umumnya dipengaruhi oleh suhu, maka model Arrhenius mensimulasikan percepatan kerusakan produk pada kondisi penyimpanan suhu tinggi di atas suhu penyimpanan normal. Laju reaksi kimia yang dapat memicu kerusakan produk pangan umumnya mengikuti laju reaksi ordo 0 dan ordo 1 (persamaan 1 dan 2). Tipe kerusakan pangan yang mengikuti model reaksi ordo nol adalah degradasi enzimatis (misalnya pada buah dan sayuran segar serta beberapa pangan beku); reaksi kecoklatan non-enzimatis (misalnya pada biji-bijian kering, dan produk susu kering); dan reaksi oksidasi lemak (misalnya peningkatan ketengikan pada snack, makanan kering dan pangan beku). Sedangkan tipe kerusakan bahan pangan yang termasuk dalam rekasi ordo satu adalah (1) ketengikan (misalnya pada minyak salad dan sayuran kering); (2) pertumbuhan mikroorganisme (misal pada ikan dan daging, serta kematian mikoorganisme akibat perlakuan panas); (3) produksi off flavor oleh mikroba; (4) kerusakan vitamin dalam makanan kaleng dan makanan kering; dan (5) kehilangan mutu protein (makanan kering) (Labuza, 1982).
Konstanta laju reaksi kimia (k), baik ordo nol maupun satu, dapat dipengaruhi oleh suhu. Karena secara umum reaksi kimia lebih cepat terjadi pada suhu tinggi, maka konstanta laju reaksi kimia (k) akan semakin besar pada suhu yang lebih tinggi. Seberapa besar konstanta laju reaksi kimia dipengaruhi oleh suhu dapat dilihat dengan menggunakan model persamaan Arrhenius.  
Model Arrhenius dilakukan dengan menyimpan produk pangan dengan kemasan akhir pada minimal tiga suhu penyimpanan ekstrim. Percobaan dengan metode Arrhenius bertujuan untuk menentukan konstanta laju reaksi (k) pada beberapa suhu penyimpanan ekstrim, kemudian dilakukan ekstrapolasi untuk menghitung konstanta laju reaksi (k) pada suhu penyimpanan yang diinginkan dengan menggunakan persamaan Arrhenius (persamaan 3). Dari persamaan tersebut dapat ditentukan nilai k (konstanta penurunan mutu) pada suhu penyimpanan umur simpan, kemudian digunakan perhitungan umur simpan sesuai dengan ordo reaksinya (persamaan 1 dan 2).
·         Model Kadar Air Kritis
Kerusakan produk pangan dapat disebabkan oleh adanya penyerapan air oleh produk selama penyimpanan. Produk pangan yang dapat mengalami kerusakan seperti ini di antaranya adalah produk kering, seperti snack, biskuit, krupuk, permen, dan sebagainya. Kerusakan produk dapat diamati dari penurunan kekerasan atau kerenyahan, dan/atau peningkatan kelengketan atau penggumpalan. Laju penyerapan air oleh produk pangan selama penyimpanan dipengaruhi oleh tekanan uap air murni pada suhu udara tertentu, permeabilitas uap air dan luasan kemasan yang digunakan, kadar air awal produk, berat kering awal produk, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan pada RH penyimpanan, dan slope kurva isoterm sorpsi air, faktor-faktor tersebut diformulasikan oleh Labuza dan Schmidl (1985) menjadi model matematika (persamaan 4) dan digunakan sebagai model untuk menduga umur simpan. Model matematika ini dapat diterapkan khususnya untuk produk pangan kering yang memiliki kurva isoterm sorpsi air (ISA) berbentuk sigmoid.
Model matematika tersebut dapat dilihat pada persamaan (5). Untuk menentukan ∆P diperlukan data aktivitas air (aw) produk, dengan asumsi terjadi kesetimbangan antara RH di dalam kemasan dengan aw produk.
Model untuk menduga umur simpan produk pangan yang mudah rusak karena penyerapan air adalah dengan pendekatan metode kadar air kritis. Data percobaan yang diperoleh dapat mensimulasi umur simpan produk dengan permeabilitas kemasan dan kelembaban relatif ruang penyimpanan yang berbeda.
Produk pangan yang mengandung kadar sukrosa tinggi, seperti permen, umumnya bersifat higroskopis dan mudah mengalami penurunan mutu selama penyimpanan yang disebabkan oleh terjadinya penyerapan air. Umur simpan produk seperti ini akan ditentukan oleh seberapa mudah uap air dapat bermigrasi ke dalam produk selama penyimpanan dengan menembus kemasan. Semakin besar perbedaan antara kelembaban relatif lingkungan penyimpanan dibandingkan kadar air produk pangan, maka air semakin mudah bermigrasi.
Kurva ISA sukrosa dan produk pangan yang mengandung sukrosa tinggi lebih sulit ditentukan, karena sifat higroskopis dari gula yang menyebabkan penyerapan air berlangsung terus menerus dan tidak mencapai kondisi kesetimbangan, terutama pada kelembaban relatif (RH) di atas 75% (Guo, 1997). Kurva ISA produk pangan yang mengandung gula tinggi juga tidak berbentuk sigmoid sehingga kadar air ksetimbangan dan kemiringan kurva sulit ditentukan (Adawiyah, 2006). Oleh karena itu, penentuan umur simpan produk pangan yang mengandung kadar gula tinggi tidak dapat menerapkan model persamaan (4). Pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan memodifikasi model persamaan (4) dengan mengganti slope kurva ISA (b) dan kadar air kesetimbangan (Me) dengan perbedaan tekanan (∆P) antara di dalam dan di luar kemasan (Labuza dan Schmidl, 1985). Hal ini didasarkan pada prinsip terjadinya migrasi uap air dari udara ke dalam produk yang disebabkan oleh perbedaan tekanan udara antara di luar kemasan dan di dalam kemasan.


Anggono, wikeu. 2012. Pendugaan Umur simpan produk pangan dengan Metode Accelerated Shelf-life Testing (ASLT). http://makalah73.blogspot.com/2012/12/pendugaan-umur-simpan-produk-pangan.html
 

Pengujian warna pada bahan pangan



PRAKTIKUM PENGUJIAN WARNA PADA BAHAN PANGAN

LAPORAN PRAKTIKUM

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Tugas Mata Kuliah Analisis Pangan dengan Dosen Pengampu Siti Mujdalipah, S.Tp., M.Si


Oleh :
Neng Rika Nurmala (1203209)
Winda Widia Agustina (1200650)
Kelompok 3







PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNOLOGI AGROINDUSTRI
FAKULTAS PENDIDIKAN DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2014

Pengujian Warna pada Bahan Pangan
Neng Rika Nurmala dan Winda Widia Agustina
Pendidikan Teknologi Agroindustri, Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Universitas Pendidikan Indonesia
Kelompok 3
ABSTRAK
Zat Pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaki warna makanan yang berubah atau menjadi pucat selama proses pengolahan atau untuk memberi warna pada makanan agar kelihatan lebih menarik. Zat pewarna yang ditambahkan pada bahan makanan terbagi menjadi dua bagian yaitu zat pewarna alami dan buatan. Akan tetapi seringkali terjadi penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk sembarang bahan pangan, misalnya zat pewarna untuk tekstil dan kulit dipakai untuk mewarnai bahan pangan. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat pewarna tersebut.
Kata kunci : zat pewarna alami, zat pewarna buatan





Pendahuluan
            Lingkup bahan tambahan (Food Additives), bahan ikutan (FoodAdjuncts) dan bahan cemaran (Food Contaminants) yang ada dalam bahan pangan, sangat luas. Dengan perkembangan teknologi pengolahan bahan makanan yang sangat pesat, maka bahan-bahan tambahan yang sengaja ditambahkan ke dalam bahan semakin banyak jumlahnya. Demikian juga makin lama makin banyak yang dapat diidentifikasikan dan dikenal secara kimiawi. Namun demikian sifat bahan ikutan masih harus berlaku yaitu kegunaannya sebagai zat gizi tidak ada atau masih diragukan. Juga bahan cemaran yang masuk ke dalam ahan makanan umumnya dengan tidak disengaja dan tidak dikehendaki semakin banuak jenisnya. Dengan bertambah rumitnya teknik pengolahan dan penggunaan peralatan yang semakin beragam, tingkat dan jenis pencemaran bahan makanan juga semakin banyak.
Bahan tambahan secara definitive dapat diartikan sebagai: bahan yang ditambahkan dengan sengaja dan kemudian terdapat dalam makanan sebagai akibt dari berbgai tahap budidaya, pengolahan, penyimpanan maupun pengemasan. Pada kenyataanya, berbaga bahan tambahan yang dikenal sekaranf merupakan modifikasi bahan-bahan yang seevara alamiah ada dalam bahan makanan sebeblumnya. Adapun tujuan penggunaan bahan tambahan adalah untuk :
1.         Mempertahankan atau memperbaiki nilai gizi makanan. Contohnya: tambahan, iodin, besi, asam amino.
2.         Mempertahankan kesegaran bahan, terutama untuk menghambat kerusakan bahan oleh mikroorganisme (jamur, bakteri dan khamir),. Bahan pengawet juga bertuuan untuk mempertahankan kesefgaran waena maupun aroma. Contohnya: natrium nitrit (mematikan bakteri, memeprtahankan warna daging), anti oksigen (mencegah ketengikan dengan vitamin C, Butylated Hydroxy Anisol/BHA atau Butylated Hydroxy Toluen/BHT)
3.         Membantu mempermudah pengoahan dan persiapan. Contohnya: bahan pengmulsi *kuning telur, lecithin), penstabil, pengental, pengembang (ragi, bubuk roti), pencegah lengket (antivaking untuk garam halus supaya tidak lengket).
4.         Membantu memperbaiki kenampakan atau aroma makanan. Contohnya: pewarna makanan (alamiah maupun buatan) dan aroma.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia salah satunya ditentukan oleh kualitas pangan yang dikonsumsinya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 menyatakan bahwa kualitas pangan yang dikonsumsi harus memenuhi beberapa kriteria, di antaranya adalah aman, bergizi, bermutu, dan dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat ( Mudjajanto, 2003 ). Aman yang dimaksud di sini mencakup bebas dari cemaran biologis, mikrobiologis, kimia, logam berat, dan cemaran lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
Bahan pewarna saat ini memang sudah tidak bisa dipisahkan dari makanan dan minuman olahan. Berbagai makanan yang dijual di toko, warung dan para pedagang keliling hampir selalu menggunakan bahan pewarna. Warna ini biasanya menyesuaikan dengan rasa yang ingin ditampilkan pada produk tersebut. Misalnya untuk rasa jeruk diberi warna oranye, rasa stroberi dengan warna merah, rasa nanas dengan warna kuning, rasa leci dengan warna putih, rasa anggur dengan warna ungu, rasa pandan dengan warna hijau, dan seterusnya.
Secara umum bahan pewarna yang sering digunakan dalam makanan olahan terbagi atas pewarna sintetis (buatan) dan pewarna natural (alami). Pewarna sintetis pada umumnya terbuat dari bahan-bahan kimia. Misalnya tartrazin untuk warna kuning, allura red untuk warna merah, dan seterusnya. Kadang-kadang pengusaha yang nakal juga menggunakan pewarna bukan makanan (non food grade) untuk memberikan warna pada makanan.
Pewarna sintetis masih sangat diminati oleh para produsen makanan. Alasan pertama adalah masalah harga. Pewarna kimia tersebut dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan pewarna alami. Alasan kedua adalah stabilitas. Pewarna sintetis memiliki tingkat stabilitas yang lebih baik, sehingga warnanya tetap cerah meskipun sudah mengalami proses pengolahan dan pemanasan. Sedangkan pewarna alami mudah mengalami degradasi atau pemudaran pada saat diolah dan disimpan.
Masalah yang dapat timbul dari penggunaan pewarna sintetis yang tidak proporsional pada makanan dan minuman adalah dapat menimbulkan masalah kesehatan. Pilihan terbaik yaitu dengan penggunaan pewarna alami, karena menggunakan bahan alam yang tidak menimbulkan efek negatif pada tubuh. Bahan pewarna sintetis yang boleh digunakan untuk makanan (food grade) pun harus dibatasi jumlahnya. Karena pada dasarnya, setiap benda sintetis yang masuk ke dalam tubuh kita akan menimbulkan efek.
Bahan Tambahan Makanan (BTM) atau food additives adalah senyawa (atau campuran berbagai senyawa) yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan danterlibat dalam proses pengolahan, pengemasan dan/atau penyimpanan, dan bukanmerupakan bahan (ingredient) utama ( Siagian, 2002 ). Sementara itu pada Undang-undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan khususnya pada Bab II (Kemanan Pangan) Bagian Kedua disebutkan banwa yang dimaksud dengan bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Penggunaan bahan tambahan pangan dalam produk pangan yang tidak mempunyai resiko kesehatan dapat dibenarkan, karena hal tersebut lazim digunakan.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 235/MENKES/PER/VI/1979 tanggal 19 Juni 1979 mengelompokkan BTM berdasarkan fungsinya, yaitu: (1) antioksidan dan antioksidan sinergis, (2) anti kempal, (3) pengasam, penetral dan pendapar, (4) enzim, (5) pemanis buatan, (6) pemutih dan pematang, (7) penambah gizi, (8) pengawet, (9) pengemulsi, pemantap dan pengental, (10) pengeras, (11) pewarna alami dan sintetik, (12) penyedap rasa dan aroma, (13) sekuestran, dan (14) bahan tambahan lain.
Pewarna makanan merupakan bahan tambahan pangan yang dapat memperbaiki penampakan makanan. Penambahan bahan pewarna makanan mempunyai beberapa tujuan, di antaranya adalah memberi kesan menarik bagi konsumen, menyeragamkan dan menstabilkan warna, serta menutupi perubahan warna akibat proses pengolahan dan penyimpanan ( Mudjajanto, 2003 ).
Secara garis besar pewarna dibedakan menjadi dua, yaitu pewarna alami dan sintetik. Pewarna alami yang dikenal di antaranya adalah daun suji (warna hijau), daun jambu/daun jati (warna merah), dan kunyit untuk pewarna kuning. Sedangkan menurut GG Birch (1976), zat pewarna makanan terbagi dalam dua kelompok, yaitu centrified colour dan uncentrified colour. Uncentrified colour merupakan zat pewarna alami berupa ekstrak pigmen dari tumbuh-tumbuhan atau hewan dan zat pewarna mineral.

Metodologi
2.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada Kamis, 6 Maret 2014, bertempat di Laboratorium Kimia Program Studi Pendidikan Teknologi Agroindustri, Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
2.2 Alat dan bahan
Alat-alat yang digunakan adalah gelas ukur, timbangan analitik, oven, loyang, stopwatch, kompor. Selanjutnya, bahan-bahan yang digunakan adalah kerupuk, saus, kukubima selai, wante (pewarna tekstil), Fanta, dan nutrisari.
2.3 Prosedur Kerja Analisa Kualitatif Bahan Pewarna
Sebanyak 30 ml sampel ditambahkan dengan HCl 0.05N hingga pH larutan menjadi 4. Sampel yang pada sebelumnya ditambahkan dengan air sebanyak 25ml dengan penambahan sampel 5gr kemudian dihomogenkan dan diambil 30 ml untuk diasamkan dengan HCl 0.05N. sediakan benang wol dengan panjang 40cm yang akan digunakan untuk mengekstrak warna, untuk menghilangkan pewarna yang ada didalam benang wal didihkan didalam air mendidih selama 30 menit dan kemudian dikeringkan dioven sampai benang wol kering. Benang wol yang telah kering dibagi menjadi 4 bagian dan kemudian dimasukan kedalam sampel yang telah diasamkan dan didihkan selama 30 menit. Benang kemudian dikeluarkan dan dicuci dengan aquades yang selanjutkan dikeringkan kembali. 4 bagian benang wol yang telah kering di letakan diatas loyang dan masing-masing potongan benang ditetesi NaOH 10%, HCl pekat, NH4OH 12% dan H2SO4 pekat. Kemudian warna yang telah terbentuk setelah ditetesi kemudian diamati.


Hasil Pengamatan


Pembahasan
Zat pewarna dari sumber alami telah digunakan untuk makanan, obat-obatan, dan kosmetika. Zat pewarna alami kini telah banyak digantikan dengan pewarna buatan yang memberikan lebih banyak kisaran warna yang telah dibakukan. Zat pewarna sintetis, secara umum dapat dibagi kedalam dua golongan, yaitu zat pewarna asam, dan zat pewarna dasar. Contoh pewarna dari jenis asam adalah amaranth dan tartrazine. Sebagian besar pewarna yang dinyatakan aman untuk digunakan, dipakai sebagai pewarna makanan dan sediaan obat-obatan. Pewarna tersebut merupakan garam natrium dari asam sulfat.
Zat pewarna juga digunakan sebagai zat diagnostic, desinfektan dan, zat dalam proses pengobatan. Zat warna merah, seperti garam aluminium atau kalsium dari zat warna larut air, sering kali ditambahkan pada aluminium hidroksida, dan sering digunakan sebagai pewarna pada tablet dan gelatin pada kapsul. Stabilitas warna dari zat pewarna dipengaruhi oleh cahaya, pH, oksidator, reduktor, dan surfaktan.
Penambahan bahan pewarna makanan mempunyai beberapa tujuan, di antaranya adalah memberi kesan menarik bagi konsumen, menyeragamkan dan menstabilkan warna, serta menutupi perubahan warna akibat proses pengolahan dan penyimpanan ( Mudjajanto, 2003 ).
Secara garis besar pewarna dibedakan menjadi dua, yaitu pewarna alami dan sintetik. Kelemahan pewarna alami ini adalah warnanya yang tidak homogen dan ketersediaannya yang terbatas, sedangkan kelebihannya adalah pewarna ini aman untuk dikonsumsi. Jenis yang lain adalah pewarna sintetik. Pewarna jenis ini mempunyai kelebihan, yaitu warnanya homogen dan penggunaannya sangat efisien karena hanya memerlukan jumlah yang sangat sedikit. Akan tetapi, kekurangannya adalah jika pada saat proses terkontaminasi logam berat, pewarna jenis ini akan berbahaya. Khusus untuk makanan dikenal pewarna khusus makanan (food grade). Padahal, di Indonesia, terutama industri kecil dan industri rumah tangga, makanan masih sangat banyak menggunakan pewarna nonmakanan (pewarna untuk pembuatan cat dan tekstil).
Dari data hasil pengamatan didapat bahwa dari sampel yang diujikan sebagian besar negative mengandung pewarna sintetis yang berbahaya jika dikonsumsi. Sampel yang negative itu diantaranya yaitu Fanta, saus, kerupuk merah dan selai nanas. Sedangkan sampel lainnya positif mengandung pewarna makanan yang berbahaya bagi kesehatan, hal ini ditunjukan dengan hasil pengamatan yang menunjukan bahwa kerupuk hijau mengandung tartrazine, selai nanas dengan penambahan wantex mengandung amaranth, kukubima ungu mengandung erythrosine, dan segarsari mengandung anline yellow.
Pewarna bertujuan untuk memberi kesan menarik bagi konsumen, menyeragamkan dan menstabilkan warna, serta menutupi perubahan warna akibat proses pengolahan dan penyimpanan. Namun hal ini harus mendapat perhatian, dikarenakan undang-undang penggunaan zat pewarna di Indonesia belum diterapkan secara tegas, maka terdapat kecenderunga terjadinya penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk produk makanan dan minuman. Misalnya zat pewarna untuk tekstil dal kulit dipakai untuk mewarnai makanan atau minuman. Hal ini sangat membahayakan bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada pewarna tersebut. Timbulnya penyalahgunaan ini sebagian besar disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk makanan dan minuman, atau tidak ada penjelasan yang rinci dalam label yang melarang penggunaan zat pewarna tertentu untuk pangan. Faktor lain adalah harga zat pewarna untuk tekstil yang jauh lebih murah dibandingkan dengan harga zat pewarna makanan. Harga zat pewarna makanan memang relatif lebuh tinggi karena bea masuknya jauh lebuh tinggi daripada bea masuk zat pewarna non makanan.
Tartrazin atau Yellow 5 atau C.I.29140 adalah bahan pewarna sintetik yang memberikan warna kuning pada bahan makanan maupun minuman. Bahan ini juga sering dikombinasikan dengan Brilliant Blue FCF (suatu bahan pewarna) untuk memberikan gradasi warna hijau. Tartrazin banyak terdapat pada produk makanan, minuman, mie instant, pudding, serta permen. Zat ini juga terdapat dalam sabun, kosmetik, sampo, serta moisturizers. Menurut The American Academic of Pediastrics Committee on Drugs, tartrazin dapat menyebabkan gangguan kesehatan, diantaranya adalah tumor pada kelenjar tiroid, Lymphocytic lymphomas, serta kerusakan kromosom.
Menurt literature bahwa pewarna erythrosine dapat menyebabkan efek sampan tumor thyroid dan sangat berbahaya bagi kesehatan. Selain itu pewarna amaranth dapat menyebabkan kematian yang cepat. Oleh karena itu pewarna ini merupakan pewarna makanan yang berbahaya apabila dikonsumsi.
Rhodamine B, yaitu zat pewarna yang lazim digunakan dalam industri tekstil, namun digunakan sebagai pewarna makanan. Berbagai penelitian dan uji telah membuktikan bahwa dari penggunaan zat pewarna ini pada makanan dapat menyebabkan kerusakan pada organ hati. Pada uji terhadap mencit, diperoleh hasil ; terjadi perubahan sel hati dari normal menjadi nekrosis dan jaringan disekitarnya mengalami disintegrasi atau disorganisasi. Kerusakan pada jaringan hati ditandai dengan terjadinya piknotik (sel yang melakukan pinositosis ) dan hiperkromatik (pewarnaan yang lebih kuat dari normal) dari nukleus. Degenerasi lemak dan sitolisis dari sitoplasma. Batas antar sel tidak jelas, susunan sel tidak teratur dan sinusoid tidak utuh. Semakin tinggi dosis yang diberikan, maka semakin berat sekali tingkat kerusakan jaringan hati mencit. Secara statistik, terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan dalam laju rata-rata pertambaan berat badan mencit ( Anonimus, 2006 ).
Sedangkan menurut studi yang dilakukan oleh Universitas Hokoriku, Kanazawa, Jepang. Efek Rhodamine B pada kosmetik adalah pada proliferasi dari fibroblas yang diamati pada kultur sistem. Rhodamine B pada takaran 25 mikrogram/ml dan diatasnya secara signifikan menyebabkan pengurangan sel setelah 72 jam dalam kultur. Studi ini menghasilkan bahwa 50 mikrogram/ml dalam rhodamine B menyebabkan berkurangnya jumlah sel setelah 48 jam dan lebih. Studi ini juga menyarankan bahwa zat warna rhodamine B menghambat proliferasi tanpa mengurangi penggabungan sel. Gabungan [3H] timidine dan [14C] leusin dalam fraksi asam tidak terlarut dari membran sel secara signifikan dihambat oleh 50 mikrogram/ml Rhodamine B. Rhodamine 6G menyebabkan kerusakan sel yang parah dan rhodamine B secara signifikan mengurangi jumlah sel. Rhodamine 123 tidak memiliki efek yang berarti, sedangkan. Lebih jauh lagi, rhodamine B mengurangi jumlah sel vaskuler endothelial pada pembuluh darah sapi dan sel otot polos pada pembuluh darah hewan berkulit duri setelah 72 jam dalam kultur. Sehingga tidak berlebihan jika studi ini menyimpulkan bahwa rhodamine B menghambat proses proliferasi lipo fibroblast pada manusia.
Selain itu ada beberapa contoh zat pewarna alami yang biasa dgunakan pada bahan makanan. Biskin, memberikan warna kuning mentega sampai kuning buah persik. Biskin dipeoleh dari pohon Bixa orellana yang terdapat di daerah tropis. Biskin sering digunakan untuk mewarnai mentega, margarin, minyak jagung, dan salad dressing. Karamel, berwarna coklat gelap hasil dari pemanasan terkontrol molase, hidrolisis (pemecahan) zat pati, dextrose, gula pasir, laktosa, sirup malt dan gula invert. Karamel terdiri dari jenis : karamel/untuk roti, biskuit dan cake serta karamel kering. Chocineal, diperoleh dari hewan coccus cacti betina yang dikeringkan (hewan ini hidup pada sejenis kaktus di kepulauan Canary dan Amerika Selatan), bisa memberikan warna merah.
Di Indonesia peraturan penggunaan zat pewarna sintetik diatur melalui SK Menkes RI No. 11332/A/SK?73. zat pewarna sintetis dibagi menjadi tiga akelimpok yaitu FD dan C color untuk makanan, obat-obatan dan kosmetik, D&C color yang diizinkan untuk dipakai pada obat-obatan da kosmetik dalam jumlah yang dibatasi. Contoh pewarna sintetis yang bisa digunakan pada bahan makanan : F&DCRed No. 2, FD&C yellow No.5, FD&C yellow No. 6 (sunset yellow), FD&C yellow No. 4 (Panceau SX), tartrazin untuk warna kuning, blilliant blue untuk warna biru, alura red untuk warna merah.

Simpulan
Pada pengujian warna pada bahan pangan ini menunjukan bahwa sebagian bahan yang diujikan mengandung pewarna sintetis yang sangat berbahaya bagi kesehatan konsumen yang mengkonsumsinya. Hal ini dikarenakan undang-undang penggunaan zat pewarna di Indonesia belum diterapkan secara tegas, maka terdapat kecenderunga terjadinya penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk produk makanan dan minuman.
Saran
Alat dan bahan yang digunakan harus dicek ketersediaannya sehingga pada saat pelaksanaan waktu yang digunakan dapat 
efesien karena tidak menunggu giliran menggunakan alat yang dibutuhkan untuk kelangsungan praktikum.

Daftar Pustaka
Winarno.(1992). Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Sudarmadji, dkk. (1989). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty: Yogyakarta.